23/06/18

Tonggak Sejarah Nusantara dari Pedalaman Mahakam

Prasasti Yupa I aka Mulawarman I (D2 a)


Sungai Mahakam adalah sungai besar yang berhulu di lima pegunungan, yaitu Pegunungan Kapuas Hulu, Kapuas Hilir, Schwaner, Muller, dan Iban. Sejak masa lampau sungai ini telah memiliki peran penting sebagai jalur lalu lintas dari hulu ke hilir, begitu pun sebaliknya. Di Desa Brubus, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kertanegara, Provinsi Kalimantan Timur telah ditemukan tujuh buah tiang batu yang mana pada ketujuhnya dipahatkan prasasti dalam aksara Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Ketujuhnya menjadi catatan penting tonggak awal zaman aksara di Indonesia.

Ketujuh prasasti pada tiang batu inilah yang dikenal dengan sebutan “Yupa”. Disebut demikian sesuai dengan penyebutan yang tercantum dalam beberapa isi prasasti. Penamaan Prasasti Muara Kaman didasarkan pada tempat ditemukannya ketujuh tiang batu tersebut, yaitu di daerah Muara Kaman. Disebut pula dengan Prasasti Mulawarkan disebabkan karena prasasti ini dikeluarkan di masa pemerintahan Raja Mulawarman. Ketujuh Yupa tersebut tidak ditemukan secara bersamaan. Berawal dari empat Yupa yang ditemukan, kemudian oleh Asisten Residen Kutei penemuan itu dilaporkan kepada pimpinan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenchappen tanggal 9 September 1879. Setahun kemudian keempat Yupa tersebut dibawa ke Batavia dan disimpan dalam koleksi Arkeologi di Museum BGKW yang nantinya menjadi Museum Nasional, dengan nomor inventaris D2 a-d. Pada akhir tahun 1940, di daerah yang sama ditemukan kembali tiga Yupa. Seperti keempat Yupa sebelumnya, semua dibawa ke Batavia dan diberi nomor inventaris D175-D176.


Tidak semua Yupa yang telah ditemukan dalam kondisi baik. Yupa dengan nomor inventaris D2 d aksaranya sudah terhapus dan tidak diketahui isinya. Pahatan yang masih terlihat jelas hanya bentuk segi empat kecil bekas kepala aksara yang disebut box-heads oleh JG. de Casparis. Dengan ditemukannya ketujuh Yupa maka dapat memberikan informasi yang sangat penting bagi penyusunan sejarah Indonesia kuna. Aksara Pallawa dan bahasa Sansekerta yang dikenalkan bangsa Indonesia membawa Indonesia memasuki masa sejarahnya. Sampai saat ini, aksara Pallawa yang berasal dari India Selatan pada prasasti Yupa merupakan aksara tertua di Indonesia. Melihat dari ciri-ciri gaya penulisannya, de Casparis menamakan aksara Kutai ini sebaga Early Pallawa atau Pallawa Tua yang diperkirakan berasal dari sekitar tahun 400 Masehi atau kira-kira setengah abad sebelumnya.

Dari penemuan prasati Yupa ini dapat dibayangkan bahwa masyarakat Kutai kuna pada awalnya hidup dalam kesukuan. Kundungga, kakek Raja Mulawarman diduga merupakan seorang pemimpin suku di wilayahnya. Seiring dengan masuknya pengaruh budaya Indonesia pada abad ke-4 Masehi, kehidupan kesukuan berganti menuju sistem kerajaan. Kundungga sendiri masih tetap mempertahankan ciri-ciri ke-Indonesiaannya. Putranya yaitu Aswawarman dianggap sebagai pendiri keluarga kerajaan (vansakartta/wangsakarta). Di masa Aswawarman pula budaya India mulai terlihat ditandai dengan mulai digunakannya nama yang berbau India, berbeda dengan masa Kundungga yang masih menggunakan nama Indonesia asli.

Aswawarman memiliki tiga orang putra, salah seorang dari mereka yang terkemuka adalah Mulawarman. Di masa kekuasaan Mulawarman inilah, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Seluruh prasasti Yupa memberitakan betapa dermawannya Mulawarman yang seringkali mengadakan selamatan (kenduri) dengan sedekah emas yang sangat banyak, segunung minyak kental, dan 20.000 ekor sapi. Untuk peringatan selamatan tersebut maka dibuatlah Yupa oleh para brahmana.

Aswawarman dan Mulawarman menganut agama Hindu. Disebutkan pula dalam Yupa bahwa Aswawarman diibaratkan seperti Angsuman, yaitu sebutan dewa matahari dalam agama Hindu. Seperti halnya Raja Yudhistira, Mulawarman sendiri disebutkan telah mengalahkan raja-raja di medan perang dan menjadikan mereka para bawahannya. Dua dari prasasti Yupa menyebutkan upacara selamatan atas sedekah raja dilaksanakan di vaprakesvara, tanah lapang yang dianggap suci untuk mengadakan perjanjian sesuai dengan aturan kitab Weda dan Brahmana.

Dari tempat penemuan prasasti Yupa diketahui bahwa kerajaan Hindu tertua di Indonesia berada di daerah Muara Kaman, Kutai, Kalimantan Timur. Nama Kutai Hindu atau Kutai Kuna digunakan oleh para peneliti untuk menamakan kerajaan Mulawarman karena tidak adanya nama yang dianggap resmi digunakan pada masanya pada prasasti-prasasti yang ditemukan. Selain itu nama tersebut digunakan pula untuk membedakannya dengan kerajaan Kutai masa Islam.

Desa Brubus sendiri masih menyisakan sebuah artefak yang oleh penduduk setempat dinamakan Lesong Batu. Artefak ini berbentuk balok batu, yang salah satu sisinya telah diupam halus. Bentuknya seperti Yupa namun tanpa tulisan. Kemungkinan Lesong Batu ini merupakan sebuah tiang batu yang akan dijadikan bahan untuk membuat prasasti Yupa. Lesong Batu saat ini berada di dalam sebuah cungkup di Museum Situs Kerajaan Mulawarman Kutai ing Martadipura di Desa Muara Kaman, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara.

Di bawah ini adalah alih aksara Prasasti Mulawarman I ( D2 a):

srimatah srinarendrasya
Sang Maharaja Kundungga
kundungga mahatmanah
yang amat mulia
putro ‘svavarmmo vikhyatah
mempunyai putra yang mashur
vansakartta yathangsuman
Sang Aswawarman namanya
tasya putra mahatmanah
yang seperti Sang Angsuman (dewa Matahari) menumbuhkan keluarga yang sangat mulia
trayas traya ivagnayah
Sang Aswawarman mempunyai tiga putra
tesan trayanam pravarah
seperti api (yang suci) tiga
tapo bala damanvitah
Yang terkemuka dari ketiga putra itu Sang Mulawarman
sri mulavarmma rajendro
raja yang berperadaban baik
yastva bahusuvarnnakam
kuat, dan kuasa
tasya yajnasa yupo ‘yam
Sang Mulawarman telah mengadakan kenduri (selamatan yang dinamakan) emas amat banyak
dvijendrais samprakalpitah
untuk peringatan kenduri (selamatan) itulah tugu batu ini didirikan oleh para brahmana.


Disalin dengan perubahan seperlunya dari:
Artikel Fifia Wardhani dengan judul yang sama, Warta Museum, Tahun XIII, No. 13 Tahun 2017. Diterbitkan oleh Museum Nasional Indonesia.
Disqus Comments